Sabtu, 06 Desember 2025

Rahasia Cinta dibawah Langit Biru

 


Pagi itu langit begitu biru, seakan baru dicuci hujan semalam. Biru yang bersih, yang jernih, yang membuat siapa pun merasa seperti baru diberi kesempatan kedua. Dan bagi Nayla, biru itu terasa begitu berbeda hari ini. Ada debar yang tidak ia mengerti setiap kali ia menatap ke atas.

Ia berdiri di balkon lantai dua rumah kecilnya, memandangi horizon yang seolah menghamparkan masa depan. Angin membawa aroma embun dan wangi bunga. Burung-burung kecil terbang, membentuk garis-garis aneh yang membuat Nayla tersenyum.

Hari ini ia akan kembali bertemu seseorang yang pernah ia tinggalkan. Seseorang yang pernah membuatnya percaya bahwa langit biru punya suara.


Rayan.


Nama yang sudah ia simpan lama, tetapi tidak pernah benar-benar ia lupakan.

---

Nayla berjalan perlahan menuju taman kota—tempat yang sudah lama tidak ia kunjungi. Tempat itu menjadi saksi kisah mereka bertahun-tahun lalu. Di bawah langit biru yang sama, mereka dulu membentangkan harapan. Dan di bawah langit biru yang sama pula, kisah mereka patah.


Bukan karena rasa yang pudar.

Bukan karena waktu yang bosan.

Tapi karena mimpi mereka saat itu berjalan di dua arah yang berbeda.

Rayan mengejar beasiswa teknik luar negeri, sementara Nayla memilih bertahan untuk keluarga, demi ibu yang kala itu sakit. Mereka berpisah baik-baik, tanpa marah, tanpa pertengkaran besar. Namun tetap saja, perpisahan yang paling tenang pun menyakitkan.


Kini, setelah empat tahun, Nayla menerima pesan singkat dari Rayan:


“Aku pulang. Bolehkan aku bertemu?”


Lima kata sederhana yang mampu mengguncang isi dadanya.

--

Taman kota itu tetap sama: pohon besar di tengah lapangan, bangku-bangku kayu yang sudah sedikit aus, dan air mancur kecil yang selalu terdengar seperti bisikan. Namun yang membuat Nayla terdiam adalah seseorang yang berdiri membelakanginya.


Rayan.


Ia mengenakan kemeja biru muda. Biru yang hampir sama dengan langit hari itu. Rambutnya tertiup angin, dan ketika ia berbalik, Nayla melihat sepasang mata yang sama—mata yang dulu menjadi tempat ia menyimpan keberanian.


“Assalamu’alaikum,” sapanya.


“Wa’alaikumussalam.” Nayla tersenyum pelan. “Kamu tepat waktu.”


Rayan terbahak kecil. “Dulu kamu sering marah kalau aku telat lima menit.”


“Itu dulu,” sahut Nayla.


“Tapi kamu tidak berubah.”


“Kamu juga tidak.”

Mereka sama-sama tertawa, canggung namun hangat. Ada jeda panjang di antara mereka, jeda yang diisi angin dan langkah-langkah kecil kenangan yang mulai kembali.

“Duduk?” tanya Rayan.


Nayla mengangguk.

Mereka memilih bangku di bawah pohon besar. Cahaya matahari menembus celah-celah daun, menciptakan pola di tanah. Di atas mereka, langit biru terbentang luas—seolah ikut mengawasi percakapan yang akan dimulai

--

“Bagaimana hidupmu di sana?” Nayla membuka dulu.

“Baik. Sibuk. Kadang melelahkan.” Rayan menatap langit. “Tapi setiap kali lihat langit biru… aku selalu ingat kamu.”


Nayla terdiam.


“Aneh, ya?” lanjut Rayan. “Padahal jutaan hal lain bisa jadi pengingat. Tapi justru langit.”

“Langit memang teman lama,” jawab Nayla. “Dia menyimpan banyak cerita.”


“Termasuk cerita kita.”

“Cerita yang sudah lewat, mungkin.”

Rayan menengok padanya. “Sudah lewat menurutmu?”

Nayla tidak tahu harus menjawab apa. Empat tahun bukan waktu singkat. Hatinya sudah belajar tenang, sudah belajar menerima. Tapi melihat Rayan duduk sedekat ini, melihat biru di matanya, rasanya seperti tidak ada yang benar-benar selesai.


“Rayan,” kata Nayla akhirnya, “kita sudah memilih jalan masing-masing waktu itu.”


“Aku tahu.” Rayan menunduk. “Tapi tahukah kamu? Keputusan itu tidak pernah terasa benar.”


“Lalu kenapa kamu tetap pergi?”

“Karena kamu bilang aku harus pergi.” Rayan menatapnya, dalam. “Dan kamu adalah hal yang paling aku percaya waktu itu.”

Nayla menghela napas. “Aku bilang begitu karena aku tidak ingin menjadi penghalang untuk mimpi kamu.”

“Kita berdua saling mengorbankan sesuatu saat itu.” Rayan tersenyum tipis. “Dan mungkin… itu cara kita mencintai yang salah.”

Nayla terdiam lama. Hatinya seperti ditarik kembali ke masa ketika ia melepas Rayan, dengan air mata tapi tanpa suara.

“Sekarang kamu pulang untuk apa?” Nayla akhirnya bertanya.

Pertanyaan itu sederhana, tapi jawaban yang ia tunggu tidak.

Rayan menjawab tanpa ragu, “Untuk menetap.”

Nayla terbelalak. “Menetap?”


“Aku sudah selesai dengan beasiswaku. Sudah magang, sudah bekerja beberapa waktu di sana. Dan… aku sadar, hidup bukan hanya soal tempat yang bagus atau gaji besar.”

“Lalu?”

“Ada hal-hal yang hanya bisa diberikan oleh rumah.” Rayan menatapnya lembut. “Dan salah satu alasanku pulang adalah kamu.”


Hatinya berdetak begitu kuat, hampir terdengar.


“Rayan… kamu tidak bisa begitu. Kita sudah lama berpisah.”


“Aku tahu.”

“Kita sudah berubah.”

“Aku tahu.”

“Mungkin rasamu hanya sisa masa lalu.”

Rayan menggeleng pelan. “Nayla, aku tidak pulang untuk mengejar masa lalu. Aku pulang untuk mencari masa depan. Dan aku ingin tahu… apakah kamu masih punya ruang kecil untukku di sana.”

Nayla menggigit bibir. Matanya panas. Ia ingin marah, ingin menolak, tapi langit biru di atas mereka terasa seperti tanda yang terlalu jelas.

Namun ia tidak boleh gegabah.


“Rayan,” katanya pelan, “aku tidak bisa menjawab sekarang.”

“Aku tidak minta jawaban sekarang,” Rayan tersenyum. “Aku hanya minta kesempatan.”

“Kesempatan apa?”

“Kesempatan mengobrol lagi. Kesempatan berjalan di taman seperti dulu. Kesempatan mengenalmu lagi—bukan yang lama, tapi Nayla yang sekarang.”

 Nayla menunduk. Kata-katanya begitu jujur, begitu bersih. Tidak ada paksaan, tidak ada janji manis kosong. Hanya permohonan sederhana: waktu.

Dan waktu adalah sesuatu yang bisa Nayla berikan tanpa kehilangan siapa pun.

“Baik,” katanya akhirnya. “Kita coba bicara lagi… sebagai teman.”

Rayan tertawa kecil. “Teman pun tidak apa. Dari situlah segalanya dulu juga mulai.”

Nayla ikut tersenyum. “Benar.”

---

Hari-hari setelah itu berjalan seperti lembaran buku yang baru dibuka. Mereka bertemu sesekali, tidak sering, tidak mendesak. Kadang sekadar minum teh di teras rumah Nayla, kadang berjalan ke perpustakaan, kadang duduk di taman sambil bercerita tentang hal-hal remeh.

Tidak ada kata cinta yang diucapkan.

Tidak ada janji yang disodorkan.

Tapi setiap pertemuan dengan Rayan membuat Nayla merasakan satu hal:

Tenang.

 Ketika Rayan bicara, suaranya tidak terburu-buru. Ketika ia menatap, matanya lembut. Ketika ia berjalan di sampingnya, langkahnya tidak melesat, selalu menyesuaikan.

Dan langit biru selalu menjadi latar.

Suatu sore, ketika mereka duduk di bukit kecil yang menghadap kota, Rayan bertanya perlahan:


“Menurutmu, kenapa langit biru selalu membuat orang tenang?”

Nayla berpikir sebentar. “Karena biru adalah warna kejujuran.”

“Biru juga warna kesetiaan,” tambah Rayan.

“Kamu percaya begitu?”

“Aku percaya sesuatu yang tidak ditinggalkan oleh langit berarti punya makna.”

“Maksudmu?”

Rayan menatapnya lama, namun penuh hormat. “Maksudku… kamu.”


Nayla terdiam. Ia merasakan sesuatu menghangat di dadanya.

VRayan melanjutkan, “Kalau aku boleh jujur, selama empat tahun, aku tidak pernah benar-benar bisa memulai hubungan baru dengan siapa pun. Aku mencoba, tapi selalu ada sesuatu yang hilang. Aku tidak bilang kamu harus kembali padaku. Aku hanya… ingin kamu tahu bagian itu.”


Nayla menatap langit. Birunya luar biasa tenang hari itu.

“Rayan,” katanya lembut, “aku takut.”

“Aku juga.”

“Takut kehilangan lagi.”

“Aku pun sama.”

“Takut berharap.”

“Harapan tidak salah, Nayla.”

“Tapi kadang menyakitkan.”

“Kalau begitu, kita hadapi perlahan.”

Nayla memandangnya. “Perlahan?”

Rayan mengangguk. “Bersama-sama. Kalau kamu mau.”

Untuk pertama kalinya, Nayla tidak menunduk. Ia membiarkan dirinya menatap mata itu, mata yang dulu menjadi rumah.

Dan ia menemukan sesuatu: ketenangan yang sama

---

 Minggu berikutnya, Rayan mengajak Nayla ke tempat yang belum pernah ia kunjungi: bukit kecil di pinggir kota, yang dari sana langit tampak lebih luas. Mereka membentangkan kain, duduk berdampingan, dan menikmati angin lembut.

“Tahu tidak?” Rayan berbicara pelan. “Di luar negeri, aku selalu membuka jendela setiap pagi. Kalau langit biru, aku bilang pada diriku sendiri: ‘Hari ini Nayla pasti lagi tersenyum.’”

Nayla tertawa kecil sambil menutupi wajah dengan tangan. “Kamu ini…”

“Aku serius.” Rayan mendekat sedikit. “Karena kamu selalu bilang, langit biru membuatmu merasa… hidup.”

L

“Itu dulu.”

“Dan sekarang?”

Nayla meliriknya. “Sekarang langit biru membuatku merasa… pulang.”

Rayan terpaku. Hatinya menegang dan melembut dalam satu detik.

“Pulang?” suaranya bergetar tipis.


 “Ya,” Nayla tersenyum. “Entah kenapa, bersamamu… rasanya sama seperti melihat langit biru itu.”


 Rayan tidak langsung menjawab. Ia menatap wajah Nayla lama sekali, seperti sedang berusaha menyimpan setiap detail. Lalu dengan suara yang sangat pelan ia berkata:

“Nayla, kalau suatu hari nanti kamu siap… aku di sini.”

 Nayla menarik napas panjang. “Aku belum berani bilang iya.”

“Aku tidak minta iya.”

“Tapi… aku juga tidak ingin bilang tidak.”

“Tidak apa.” Rayan tersenyum. “Asal kamu tidak pergi.”

“Tidak. Aku tidak pergi.”

Kata itu keluar begitu saja, tanpa ragu.

Dan di atas mereka, langit biru tetap tak bergerak, seolah mengafirmasi keputusan itu.

---

Senja turun perlahan. Langit biru berubah jingga lembut, menyatu dengan angin dan suara burung kembali pulang. Mereka berdua duduk dalam diam, tapi bukan diam yang canggung. Diam yang penuh syukur.

Saat matahari mulai tenggelam, Rayan berkata:

“Nayla… bolehkah aku menggenggam tanganmu?”

Nayla menoleh. Ia tidak menjawab dengan kata. Hanya mengulurkan tangannya perlahan.

Rayan menggenggamnya, hangat dan mantap.

Dan pada saat itu, Nayla sadar:

Tidak semua perpisahan dibuat untuk selamanya.

Tidak semua cinta yang tertunda harus hilang.

Beberapa cinta hanya menunggu langit birunya sendiri

---

 Malam itu, ketika mereka berjalan beriringan pulang, langit perlahan menggelap namun masih menyisakan garis biru tipis yang begitu indah. Biru terakhir sebelum malam mengambil alih.

Rayan menatap garis itu, lalu menatap Nayla.

“Kita mulai dari sini?” tanyanya lembut.

Nayla tersenyum, penuh yakin.

“Ya. Dari langit biru ini.”

 Dan begitulah, di bawah langit yang membentang tenang—tanpa janji muluk, tanpa terburu-buru, dan tanpa kata cinta yang berlebihan—dua hati yang pernah terluka belajar mencintai dengan cara yang baru.


Pelan.

Jujur.

Dan biru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer

AMIEN PALING SERIUS

Arief Viantoro @gusjadab - Sea berteduh di sebuah ruko, dengan memeluk dirinya sendiri melindungi dari dinginnya hujan yang mengguyur pagi...