Arief Viantoro @gusjadab -
Sea berteduh di sebuah ruko, dengan memeluk dirinya sendiri melindungi dari dinginnya hujan yang mengguyur pagi itu. Sea tidak sendirian disana, karena hujan yang tiba-tiba deras, banyak orang yang berteduh di depan ruko kosong, saat melihat di sekitarnya, Sea baru menyadari bahwa seorang pemuda yang dia kenal berdiri di sampingnya.
Dia Zabir, kakak Sabil sahabatnya dan seorang anak Kyai yang sangat disegani di kota ini. Sea mengenalnya beberapa tahun yang lalu, saat Zabir dan keluarganya menolong Sea dalam insiden yang membuatnya pergi dari kota kelahiran. Meskipun pertemuan selanjutnya adalah hal yang tidak disangka-sangka, setelah pergi dari kota yang penuh dengan hal yang menyakitkan itu, Sea pergi ke terminal bus dengan uang tabungan selama SMA dan membeli tiket ke kota manapun yang cukup untuk dibayarkan oleh uang yang ada di sakunya. Dan akhirnya ia datang ke kota ini, Kota dingin yang baru pertama kali Sea tuju dengan perjalanan hampir 10 jam dari kota kelahirannya. Dan di terminal kota itulah dia bertemu lagi dengan Zabir, dengan ragu dia menyapa karena Zabir masih mengenalnya, Sea dibawa ke Pondok pesantren milik Zabir untuk bertemu Ibu Zabir yang merindukan Sea. Setelah seminggu tinggal dengan keluarganya, Sea Memutuskan untuk tinggal secara mandiri meskipun awalnya Bu Aisyah Ibunya Zabir melarang keras akan hal itu, tapi Sea meyakinkankannya. Sehingga Sea akhirnya dibolehkan untuk hidup mandiri dengan syarat menerima uang untuk biaya hidupnya di kota ini.Kembali ke masa sekarang, Sea
menyapa dengan lembut kepada Zabir yang ada di sebelahnya.
“assalamualaikum Mas Zabir”. Zabir terkejut mendengar suara
itu, dan baru menyadari adanya Sea di sebelahnya.
“waalaikumsalam, sea mau kepasar?” tanya Zabir.
“iya mas, mau belanja kebutuhan jualan, Mas Zabir sendiri
mau kemana?” Tanya Sea dengan senyum.
“mau ke pasar juga ini, disuruh Ibu ambil pesanan tempe buat
acara besok”
“minta tolong sampaikan salam saya ke Bu Ais ya mas, nanti
setelah belanja saya akan ke ndalem untuk bantu-bantu” ungkap Sea
“Insyaallah akan aku sampaikan” dengan senyum menenangkan
jiwa bagi Sea, jantungnya terus berdetak dengan kencang dan tambah kencang saat
melihat senyum Zabir. 'Semoga Mas Zabir tidak mendengar suara jantungku’ batin
Sea.
Hujan masih terus saja mengguyur,
bulan November memang selalu hujan seperti ini apalagi di Kota ini, yang curah
hujannya tinggi. Saat sedang menunggu hujan reda, tiba-tiba dari arah kiri ada
mobil dengan kecepatan tinggi melewati genangan air tepat di depan ruko.
Melihat itu, Sea otomatis memejamkan matanya bersiap untuk terkena cipratan air
tapi sudah beberapa waktu berlalu, bukannya air yang mengenai tubuhnya tetapi
bayangan hitam melindungi dia dari cipratan air itu. Dengan bingung, Sea
mendongakan wajahnya melihat Zabir yang dengan sengaja menghalangi tubuh Sea
dari cipratan air.
“Kamu tidak apa-apa Sea?” Tanya Zabir dengan pandangan
khawatir pada Sea.
“Bukankah harusnya saya yang bertanya mas Zabir?” bukannya
menjawab, Sea membalikan pertanyaan dengan senyum geli terukir di wajahnya.
Dengan salah tingkah Zabir mengalihkan pandangan sembari menjawab.
“Aku tidak apa-apa”
Hujan mulai mereda, dan satu persatu
orang yang ada di depan ruko itu pergi sehingga tersisa dua orang yang sedang
berhadapan salah tingkah itu. Akhirnya Sea memecahkan keheningan canggung itu.
“Hujannya sudah reda, saya harus pergi”
“iya iya silahkan, aku juga harus segera pergi kepasar”
balas Zabir tersadar masih menghalangi Sea, dia beralih dari hadapan Sea.
“permisi mas Zabir” pamit Sea, Zabir hanya tersenyum. Dan
seakan tersadar sesuatu dia memanggil Sea kembali dan berkata
“jangan terlalu formal pada aku Sea, tolong ganti kata
‘saya’ yang kamu gunakan”
Sea membalas dengan tersenyum, menganggukan kepalanya dan
pergi dari sana.
Zabir
melihat Sea sampai hilang di tikungan jalan, dengan tersenyum yang tetap di
wajahnya merasa bahagia karena bertemu dengan pujaan hatinya. Dia sudah
mengakui perasaan itu saat Sea pergi dari rumahnya beberapa tahun lalu, awalnya
dia kira perasaan hanya karena kasihan pada Sea yang telah ditolongnya tetapi
lambat laun dia menyadari bahwa, itu bukan hanya sekedar kasihan namun cinta
hingga sekarang perasaan itu bukannya menghilang malah semakin berkembang
seiring dia mengenal Sea lebih dalam. Dengan wajah yang masih tersenyum, dia
mengambil pesanan ibunya dan pulang ke rumahnya.
Setelah
pulang dari pasar membeli bahan untuk jualan di car free day besok, Sea
langsung tancap gas untuk ke Pondok Pesantren membantu Bu Ais memasak.
Sebenarnya saat dia tahu bahwa keluarga Zabir memiliki Pondok pesantren, dia
sudah memanggil dengan sebutan Bu nyai pak kyai, dan Gus Ning kepada Zabir dan
Sabil. Tapi Sea dimarahi habis-habisan oleh Bu ais dan Sabil, dan mengancam
tidak mau bertemu lagi jika Sea memanggil mereka seperti itu. Sea tertawa kecil
mengingat saat-saat itu, dan memarkirkan motornya di depan parkiran Pondok.
Dengan membawa bolu bikinan sendiri, Sea masuk ke dalam dengan salam, dan
disambut oleh sahabatnya Sabil.
“aku udah nungguin dari tadi, katanya belanja sebentar”
gerutu Sabil.
“Tadi hujan Sabil sayang, jadi agak lama. Ibu dimana?” jelas
Sea, masih dengan muka cemberut sambil melangkah menuju dapur, diikuti Sea yang
tertawa melihat Sabil. Sampainya didapur, Sea melihat Bu Ais sedang memotong
sayuran bersama dengan abdi ndalem.
“Assalamualaikum ibu” salam Sea.
“Waalaikumsalam anak ibu, kok baru datang” dengan senyum
menenangkannya Bu Ais menghampiri Sea dan mencium wajahnya. Sudah terbiasa
diperlakukan seperti itu Sea hanya tertawa.
“Aku bawain bolu buat ibu, bisa buat jamuan besok” ujar Sea
sambil meletakan Bolu ke meja di sampingnya.
“Kayaknya nggak akan sampai besok sudah habis dimakan Sabil
itu” jawab Bu Ais dengan nada bercanda.
“Ngga ya, yang biasanya ngabisin bolu buatan Sea itu mas
Zabir, bukan aku”. Debat Sabil, sedangkan Sea sedang berusaha untuk tidak
tersenyum mendengar ucapan Sabil yang ceplas ceplos itu, dadanya berdesir
mengetahui Zabir menyukai bolu buatannya. Akhirnya setelah menenangkan Sabil
mereka kembali mempersiapkan makanan untuk acara pengajian rutin besok, dengan
penuh kehangatan dalam dapur itu, diselingi candaan, dan Sabil yang menggoda
mba-mba abdi ndalem yang membantu mereka.
Setelah semua selesai, Bu Ais
menyuruh Sabil untuk mengantarkan makanan ke rumah Neneknya yang berjarak 1 jam
dari rumah.
“Ibu nggak lihat sekarang lagi hujan, nanti aku sakit. Mas
Zabir aja” tolak Sabil
“Yang nyuruh kamu kesana bawa motor itu siapa, kamu kesana
sama mas mu pake mobil” jawab Bu Ais.
“aku mau nganter kalo Sea ikut” ujar Sabil sambil melihat
Sea dengan licik. Sea yang tidak habis pikir atas rencana Sabil hampir menolak,
sebelum Sabil melotot pada Sea. Sabil tahu tentang perasaan Sea pada kakaknya,
dan dia mendukung seratus persen agar Sea bersama kakaknya tapi, setip Sabil
bilang begitu Sea dengan tegas menolak dan mengatakan tidak pantas jika
kakaknya bersanding dengan Sea dan berujung mereka berdua berdebat.
Akhirnya Sabil, Sea dan Zabir pergi
untuk mengantarkan makanannya bersama. Setelah berdebat panjang dengan Sabil
yang ingin duduk di belakang alasannya karena mau tempat yang luas. Siapapun
yang mendengarnya akan tahu bahwa itu alasan yang tidak masuk akal. Sea
mengalah, dan membiarkan Sabil duduk dibelakang, dan dia di depan dengan Zabir.
Dalam perjalanan pulang, Sabil sudah tertidur lelap di belakang, menyisakan
kediaman yang canggung antara Sea dan Zabir.
“Hujannya masih saja deras” ucap Zabir untuk memecahkan
keheningan.
“yah bulan November memang sudah masuk musim hujan” balas
Sea dengan tersenyum melihat hujan.
“Kamu suka hujan?” pertanyaan itu keluar karena melihat Sea
yang terus tersenyum sambil melihat hujan.
“Ya sangat, menurut saya hujan datang untuk membawa sesuatu
yang jahat pergi, dan ikut serta menghilangkan perasaan tidak baik, bukankah
hujan itu berkah” kata Sea dengan pandangan menerawang jauh.
“aku bukan ‘saya’, bukankah tadi pagi aku baru
mengatakannya?” Sela Zabir, dengan senyum diwajahnya Sea menjawab.
“baiklah ‘aku’, Mas Zabir”. Sekali lagi Sea memanggil Zabir
dengan suara halusnya, membuat jantung Zabir bekerja dua kali lebih cepat dari
biasanya. Zabir berdehem untuk menutupi salah tingkahnya.
“Sea, jika ada yang melamarmu saat ini apakah akan kamu
terima?” pertanyaan Zabir mengagetkan Sea, dengan cepat Sea merubah raut
wajahnya dan tertawa.
“Siapa yang mau melamarku, aku tidak punya apa-apa sekarang”
jawabnya masih tertawa.
“Aku” jawab Zabir dengan tegas, Sea terdiam.
“Apa kamu tidak menyadarinya Sea? aku selalu memperhatikanmu
entah saat di kampus, maupun di rumah? Aku sudah menyukaimu dari lama Sea”
lanjut Zabir dengan menggebu.
“Aku bukan siapa-siapa Mas Zabir, aku tidak akan pantas
bersanding dengan orang seperti Mas Zabir” jawab Sea sambil menundukan
kepalanya.
“tidak pantas bagaimana Sea? Lalu siapa yang menurutmu
pantas untuk kamu?” Nada kecewa Zabir jelas terdengar dari bicaranya.
“kamu akan mendapatkan yang lebih baik daripada aku yang
hina ini mas Zabir”
Keheningan kembali melanda, Zabir tidak menjawab ucapan Sea
karena rasa kecewanya, hingga sampai di rumah Zabir, Sea izin untuk langsung
pulang ke Bu Ais dengan alasan tidak enak badan, melewati Sabil yang
bertanya-tanya atas sikap Sea dan kakaknya Zabir, yang tidak biasanya langsung
masuk kamar.
Setelah
seminggu berlalu, keadaan Sea dan Zabir tak kunjung membaik. Yang biasanya
masih saling sapa, sekarang saat bertemu tidak ada yang mau menyapa terlebih
dahulu Zabir dengan rasa kecewanya dan Sea dengan rasa tidak pantasnya. Menurut
Sea Zabir yang dari keluarga baik-baik, harus bertemu dengan perempuan yang
baik-baik juga bukan seperti dirinya, meskipun Sea hanya hampir diperkosa oleh
ayah tirinya tapi Sea merasa bahwa dirinya tidak bisa menjadi perempuan baik.
Bukankah perasaan korban pemerkosaan akan selalu merasa hina.
Hari ini setelah pulang kuliah, Sea akan mengikuti seminar
influencer agama yang bernama yaiban karena Sabil merengek ingin melihat
idolanya itu.
“mencintai adalah hal yang suci, jangan sampai diberi suatu
hal yang kotor bernama pacaran. Karena mencintai itu suci, maka langitkan doa
dan diiringi dengan amin paling serius”
Kalimat yang disampaikan yaiban dan membuat Sea terhenyak
sesaat. Bahkan setelah selesai seminar, Sea masih di depan ruangan seminar
dengan mengingat kata-kata yang menurutnya pas untuk keadaan dirinya saat ini.
Saat tersadar, hujan sudah kembali membasahi bumi, tangan Sea terulur ke depan
untuk merasakan air hujan yang menenangkan. Sambil menutup mata Sea bergumam
lirih.
“Jika memang aku pantas untuknya, tolong hilangkan rasa hina
ini. pada-Mu sang pemberi Hujan aku meminta, dengan amin paling serius yang
pernah aku panjatkan. Apapun pilihan yang Engkau berikan Ya Allah. Aku akan
menempuh jalan itu dengan percaya diri” Sea percaya akan keberkahan hujan, dan
diatas segalanya, dia berharap Hujan di Bulan November ini bisa membawa sesuatu
yang baik untuknya, dan menghilangkan rasa jahat pada dirinya.
Disaat yang
bersamaan, di tempat yang berbeda. Zabir melihat hujan turun dengan deras di
teras rumahnya, dengan pandangan yang kosong seakan jiwanya sedang pergi
melalang buana. Bahkan dia tidak sadar jika Abahnya sudah duduk disamping
dengan memperhatikannya.
“Kenapa toh nang, ada yang mengganggu pikiranmu?”
tanya abah. Terkejut mendengar suara Abahnya, Zabir menoleh dengan cepat dan
menggelengkan kepalanya.
“kalo ada yang ingin diraih, mintanya jangan sama hambaNya,
tapi lewat yang menciptakan. Harusnya kamu tahu itu Zabir.” Lanjut Abah
tersenyum dengan menepuk pundak putranya. Zabir tertegun, kemudian tersenyum
menyadari bahwa Abahnya tahu apa yang terjadi padanya.
“Abah, jika Zabir meminta izin melamar seorang perempuan,
apakah abah dan ibu merestui?” Tanya Zabir penuh harap.
“Jika kamu yakin, bisa membimbing perempuan itu ke jalan
Allah, maka Abah dan Ibu tidak pernah melarang nang” jawab abah dengan
tenang. Disaat itu Ibu keluar membawa teh sambil tersenyum.
“saat kamu yakin, maka perjuangkanlah nak. Abah dan Ibu akan
disamping kamu”. Perkataan abah dan ibu, yang membuat Zabir yakin akan
keputusannya, dan sudah saatnya melangkah melakukan ikhtiar untuk doa-doa yang
selalu dipanjatkan.
“Kalo begitu, Zabir minta tolong untuk diantarkan meminang
Sea Abah.” Seakan sudah mengetahui
maksud dari anaknya, Abah dan Ibu Zabir tidak terkejut dan tersenyum.
“Besok kita datang menemui Sea” jawab Abah.
Keesokan
paginya, Sabil yang baru mendengar kabar itu diminta ibunya untuk ke rumah Sea
dan membantu Sea untuk bersiap. Karena Sea belum tahu kabar itu, dan tugas
Sabil adalah meyakinkan Sea untuk percaya diri bisa bersama dengan Zabir.
Dengan penuh semangat, Sabil melaju ke rumah Sea. Saat bertemu Sea, Sabil
bercerita tentang rencana kakaknya yang akan meminang Sea petang nanti, dengan
raut terkejut dan tidak percaya Sea bertanya.
“Apakah Abah dan Ibu menyetujuinya?”
tanyanya dengan penuh rasa takut.
“Yang menyuruh untuk segera bergerak
adalah mereka Sea, dan aku harap kamu tidak akan lagi mendorong mas Zabir dan
menyangkal perasaanmu. Kamu berhak bahagia Sea, dan kamu pantas menjadi bagian
dari keluarga kami” kata Sabil meyakinkan Sea.
Sore hari itu, meski hujan terus mengguyur acara lamaran itu berjalan dengan baik. Sea akhirnya menyetujui untuk bersama Zabir melakukan petualangan dalam kehidupan ini dengan membawa Amin paling serius seluruh dunia.
Cerpen ini telah diikutkan event antologi dan telah dibukukan oleh penerbit Grana Pustaka
Pesann bukunya sekarang!


Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.