Sabtu, 29 November 2025

AMIEN PALING SERIUS



Arief Viantoro @gusjadab -

Sea berteduh di sebuah ruko, dengan memeluk dirinya sendiri melindungi dari dinginnya hujan yang mengguyur pagi itu. Sea tidak sendirian disana, karena hujan yang tiba-tiba deras, banyak orang yang berteduh di depan ruko kosong, saat melihat di sekitarnya, Sea baru menyadari bahwa seorang pemuda yang dia kenal berdiri di sampingnya.

Dia Zabir, kakak Sabil sahabatnya dan seorang anak Kyai yang sangat disegani di kota ini. Sea mengenalnya beberapa tahun yang lalu, saat Zabir dan keluarganya menolong Sea dalam insiden yang membuatnya pergi dari kota kelahiran. Meskipun pertemuan selanjutnya adalah hal yang tidak disangka-sangka, setelah pergi dari kota yang penuh dengan hal yang menyakitkan itu, Sea pergi ke terminal bus dengan uang tabungan selama SMA dan membeli tiket ke kota manapun yang cukup untuk dibayarkan oleh uang yang ada di sakunya. Dan akhirnya ia datang ke kota ini, Kota dingin yang baru pertama kali Sea tuju dengan perjalanan hampir 10 jam dari kota kelahirannya.  Dan di terminal kota itulah dia bertemu lagi dengan Zabir, dengan ragu dia menyapa karena Zabir masih mengenalnya, Sea dibawa ke Pondok pesantren milik Zabir untuk bertemu Ibu Zabir yang merindukan Sea. Setelah seminggu tinggal dengan keluarganya, Sea Memutuskan untuk tinggal secara mandiri meskipun awalnya Bu Aisyah Ibunya  Zabir melarang keras akan hal itu, tapi Sea meyakinkankannya. Sehingga Sea akhirnya dibolehkan untuk hidup mandiri dengan syarat menerima uang untuk biaya hidupnya di kota ini.

Kembali ke masa sekarang, Sea menyapa dengan lembut kepada Zabir yang ada di sebelahnya.

“assalamualaikum Mas Zabir”. Zabir terkejut mendengar suara itu, dan baru menyadari adanya Sea di sebelahnya.

“waalaikumsalam, sea mau kepasar?” tanya Zabir.

“iya mas, mau belanja kebutuhan jualan, Mas Zabir sendiri mau kemana?” Tanya Sea dengan senyum.

“mau ke pasar juga ini, disuruh Ibu ambil pesanan tempe buat acara besok”

“minta tolong sampaikan salam saya ke Bu Ais ya mas, nanti setelah belanja saya akan ke ndalem untuk bantu-bantu” ungkap Sea

“Insyaallah akan aku sampaikan” dengan senyum menenangkan jiwa bagi Sea, jantungnya terus berdetak dengan kencang dan tambah kencang saat melihat senyum Zabir. 'Semoga Mas Zabir tidak mendengar suara jantungku’ batin Sea.

Hujan masih terus saja mengguyur, bulan November memang selalu hujan seperti ini apalagi di Kota ini, yang curah hujannya tinggi. Saat sedang menunggu hujan reda, tiba-tiba dari arah kiri ada mobil dengan kecepatan tinggi melewati genangan air tepat di depan ruko. Melihat itu, Sea otomatis memejamkan matanya bersiap untuk terkena cipratan air tapi sudah beberapa waktu berlalu, bukannya air yang mengenai tubuhnya tetapi bayangan hitam melindungi dia dari cipratan air itu. Dengan bingung, Sea mendongakan wajahnya melihat Zabir yang dengan sengaja menghalangi tubuh Sea dari cipratan air.

“Kamu tidak apa-apa Sea?” Tanya Zabir dengan pandangan khawatir pada Sea.

“Bukankah harusnya saya yang bertanya mas Zabir?” bukannya menjawab, Sea membalikan pertanyaan dengan senyum geli terukir di wajahnya. Dengan salah tingkah Zabir mengalihkan pandangan sembari menjawab.

“Aku tidak apa-apa”

Hujan mulai mereda, dan satu persatu orang yang ada di depan ruko itu pergi sehingga tersisa dua orang yang sedang berhadapan salah tingkah itu. Akhirnya Sea memecahkan keheningan canggung itu.

“Hujannya sudah reda, saya harus pergi”

“iya iya silahkan, aku juga harus segera pergi kepasar” balas Zabir tersadar masih menghalangi Sea, dia beralih dari hadapan Sea.

“permisi mas Zabir” pamit Sea, Zabir hanya tersenyum. Dan seakan tersadar sesuatu dia memanggil Sea kembali dan berkata

“jangan terlalu formal pada aku Sea, tolong ganti kata ‘saya’ yang kamu gunakan”

Sea membalas dengan tersenyum, menganggukan kepalanya dan pergi dari sana.

            Zabir melihat Sea sampai hilang di tikungan jalan, dengan tersenyum yang tetap di wajahnya merasa bahagia karena bertemu dengan pujaan hatinya. Dia sudah mengakui perasaan itu saat Sea pergi dari rumahnya beberapa tahun lalu, awalnya dia kira perasaan hanya karena kasihan pada Sea yang telah ditolongnya tetapi lambat laun dia menyadari bahwa, itu bukan hanya sekedar kasihan namun cinta hingga sekarang perasaan itu bukannya menghilang malah semakin berkembang seiring dia mengenal Sea lebih dalam. Dengan wajah yang masih tersenyum, dia mengambil pesanan ibunya dan pulang ke rumahnya.

            Setelah pulang dari pasar membeli bahan untuk jualan di car free day besok, Sea langsung tancap gas untuk ke Pondok Pesantren membantu Bu Ais memasak. Sebenarnya saat dia tahu bahwa keluarga Zabir memiliki Pondok pesantren, dia sudah memanggil dengan sebutan Bu nyai pak kyai, dan Gus Ning kepada Zabir dan Sabil. Tapi Sea dimarahi habis-habisan oleh Bu ais dan Sabil, dan mengancam tidak mau bertemu lagi jika Sea memanggil mereka seperti itu. Sea tertawa kecil mengingat saat-saat itu, dan memarkirkan motornya di depan parkiran Pondok. Dengan membawa bolu bikinan sendiri, Sea masuk ke dalam dengan salam, dan disambut oleh sahabatnya Sabil.

“aku udah nungguin dari tadi, katanya belanja sebentar” gerutu Sabil.

“Tadi hujan Sabil sayang, jadi agak lama. Ibu dimana?” jelas Sea, masih dengan muka cemberut sambil melangkah menuju dapur, diikuti Sea yang tertawa melihat Sabil. Sampainya didapur, Sea melihat Bu Ais sedang memotong sayuran bersama dengan abdi ndalem.

“Assalamualaikum ibu” salam Sea.

“Waalaikumsalam anak ibu, kok baru datang” dengan senyum menenangkannya Bu Ais menghampiri Sea dan mencium wajahnya. Sudah terbiasa diperlakukan seperti itu Sea hanya tertawa.

“Aku bawain bolu buat ibu, bisa buat jamuan besok” ujar Sea sambil meletakan Bolu ke meja di sampingnya.

“Kayaknya nggak akan sampai besok sudah habis dimakan Sabil itu” jawab Bu Ais dengan nada bercanda.

“Ngga ya, yang biasanya ngabisin bolu buatan Sea itu mas Zabir, bukan aku”. Debat Sabil, sedangkan Sea sedang berusaha untuk tidak tersenyum mendengar ucapan Sabil yang ceplas ceplos itu, dadanya berdesir mengetahui Zabir menyukai bolu buatannya. Akhirnya setelah menenangkan Sabil mereka kembali mempersiapkan makanan untuk acara pengajian rutin besok, dengan penuh kehangatan dalam dapur itu, diselingi candaan, dan Sabil yang menggoda mba-mba abdi ndalem yang membantu mereka.

Setelah semua selesai, Bu Ais menyuruh Sabil untuk mengantarkan makanan ke rumah Neneknya yang berjarak 1 jam dari rumah.

“Ibu nggak lihat sekarang lagi hujan, nanti aku sakit. Mas Zabir aja” tolak Sabil

“Yang nyuruh kamu kesana bawa motor itu siapa, kamu kesana sama mas mu pake mobil” jawab Bu Ais.

“aku mau nganter kalo Sea ikut” ujar Sabil sambil melihat Sea dengan licik. Sea yang tidak habis pikir atas rencana Sabil hampir menolak, sebelum Sabil melotot pada Sea. Sabil tahu tentang perasaan Sea pada kakaknya, dan dia mendukung seratus persen agar Sea bersama kakaknya tapi, setip Sabil bilang begitu Sea dengan tegas menolak dan mengatakan tidak pantas jika kakaknya bersanding dengan Sea dan berujung mereka berdua berdebat.

Akhirnya Sabil, Sea dan Zabir pergi untuk mengantarkan makanannya bersama. Setelah berdebat panjang dengan Sabil yang ingin duduk di belakang alasannya karena mau tempat yang luas. Siapapun yang mendengarnya akan tahu bahwa itu alasan yang tidak masuk akal. Sea mengalah, dan membiarkan Sabil duduk dibelakang, dan dia di depan dengan Zabir. Dalam perjalanan pulang, Sabil sudah tertidur lelap di belakang, menyisakan kediaman yang canggung antara Sea dan Zabir.

“Hujannya masih saja deras” ucap Zabir untuk memecahkan keheningan.

“yah bulan November memang sudah masuk musim hujan” balas Sea dengan tersenyum melihat hujan.

“Kamu suka hujan?” pertanyaan itu keluar karena melihat Sea yang terus tersenyum sambil melihat hujan.

“Ya sangat, menurut saya hujan datang untuk membawa sesuatu yang jahat pergi, dan ikut serta menghilangkan perasaan tidak baik, bukankah hujan itu berkah” kata Sea dengan pandangan menerawang jauh.

“aku bukan ‘saya’, bukankah tadi pagi aku baru mengatakannya?” Sela Zabir, dengan senyum diwajahnya Sea menjawab.

“baiklah ‘aku’, Mas Zabir”. Sekali lagi Sea memanggil Zabir dengan suara halusnya, membuat jantung Zabir bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya. Zabir berdehem untuk menutupi salah tingkahnya.

“Sea, jika ada yang melamarmu saat ini apakah akan kamu terima?” pertanyaan Zabir mengagetkan Sea, dengan cepat Sea merubah raut wajahnya dan tertawa.

“Siapa yang mau melamarku, aku tidak punya apa-apa sekarang” jawabnya masih tertawa.

“Aku” jawab Zabir dengan tegas, Sea terdiam.

“Apa kamu tidak menyadarinya Sea? aku selalu memperhatikanmu entah saat di kampus, maupun di rumah? Aku sudah menyukaimu dari lama Sea” lanjut Zabir dengan menggebu.

“Aku bukan siapa-siapa Mas Zabir, aku tidak akan pantas bersanding dengan orang seperti Mas Zabir” jawab Sea sambil menundukan kepalanya.

“tidak pantas bagaimana Sea? Lalu siapa yang menurutmu pantas untuk kamu?” Nada kecewa Zabir jelas terdengar dari bicaranya.

“kamu akan mendapatkan yang lebih baik daripada aku yang hina ini mas Zabir”

Keheningan kembali melanda, Zabir tidak menjawab ucapan Sea karena rasa kecewanya, hingga sampai di rumah Zabir, Sea izin untuk langsung pulang ke Bu Ais dengan alasan tidak enak badan, melewati Sabil yang bertanya-tanya atas sikap Sea dan kakaknya Zabir, yang tidak biasanya langsung masuk kamar.

            Setelah seminggu berlalu, keadaan Sea dan Zabir tak kunjung membaik. Yang biasanya masih saling sapa, sekarang saat bertemu tidak ada yang mau menyapa terlebih dahulu Zabir dengan rasa kecewanya dan Sea dengan rasa tidak pantasnya. Menurut Sea Zabir yang dari keluarga baik-baik, harus bertemu dengan perempuan yang baik-baik juga bukan seperti dirinya, meskipun Sea hanya hampir diperkosa oleh ayah tirinya tapi Sea merasa bahwa dirinya tidak bisa menjadi perempuan baik. Bukankah perasaan korban pemerkosaan akan selalu merasa hina.

Hari ini setelah pulang kuliah, Sea akan mengikuti seminar influencer agama yang bernama yaiban karena Sabil merengek ingin melihat idolanya itu.

“mencintai adalah hal yang suci, jangan sampai diberi suatu hal yang kotor bernama pacaran. Karena mencintai itu suci, maka langitkan doa dan diiringi dengan amin paling serius”

Kalimat yang disampaikan yaiban dan membuat Sea terhenyak sesaat. Bahkan setelah selesai seminar, Sea masih di depan ruangan seminar dengan mengingat kata-kata yang menurutnya pas untuk keadaan dirinya saat ini. Saat tersadar, hujan sudah kembali membasahi bumi, tangan Sea terulur ke depan untuk merasakan air hujan yang menenangkan. Sambil menutup mata Sea bergumam lirih.

“Jika memang aku pantas untuknya, tolong hilangkan rasa hina ini. pada-Mu sang pemberi Hujan aku meminta, dengan amin paling serius yang pernah aku panjatkan. Apapun pilihan yang Engkau berikan Ya Allah. Aku akan menempuh jalan itu dengan percaya diri” Sea percaya akan keberkahan hujan, dan diatas segalanya, dia berharap Hujan di Bulan November ini bisa membawa sesuatu yang baik untuknya, dan menghilangkan rasa jahat pada dirinya.

            Disaat yang bersamaan, di tempat yang berbeda. Zabir melihat hujan turun dengan deras di teras rumahnya, dengan pandangan yang kosong seakan jiwanya sedang pergi melalang buana. Bahkan dia tidak sadar jika Abahnya sudah duduk disamping dengan memperhatikannya.

“Kenapa toh nang, ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya abah. Terkejut mendengar suara Abahnya, Zabir menoleh dengan cepat dan menggelengkan kepalanya.

“kalo ada yang ingin diraih, mintanya jangan sama hambaNya, tapi lewat yang menciptakan. Harusnya kamu tahu itu Zabir.” Lanjut Abah tersenyum dengan menepuk pundak putranya. Zabir tertegun, kemudian tersenyum menyadari bahwa Abahnya tahu apa yang terjadi padanya.

“Abah, jika Zabir meminta izin melamar seorang perempuan, apakah abah dan ibu merestui?” Tanya Zabir penuh harap.

“Jika kamu yakin, bisa membimbing perempuan itu ke jalan Allah, maka Abah dan Ibu tidak pernah melarang nang” jawab abah dengan tenang. Disaat itu Ibu keluar membawa teh sambil tersenyum.

“saat kamu yakin, maka perjuangkanlah nak. Abah dan Ibu akan disamping kamu”. Perkataan abah dan ibu, yang membuat Zabir yakin akan keputusannya, dan sudah saatnya melangkah melakukan ikhtiar untuk doa-doa yang selalu dipanjatkan.

“Kalo begitu, Zabir minta tolong untuk diantarkan meminang Sea Abah.” Seakan sudah mengetahui  maksud dari anaknya, Abah dan Ibu Zabir tidak terkejut dan tersenyum.

“Besok kita datang menemui Sea” jawab Abah.

            Keesokan paginya, Sabil yang baru mendengar kabar itu diminta ibunya untuk ke rumah Sea dan membantu Sea untuk bersiap. Karena Sea belum tahu kabar itu, dan tugas Sabil adalah meyakinkan Sea untuk percaya diri bisa bersama dengan Zabir. Dengan penuh semangat, Sabil melaju ke rumah Sea. Saat bertemu Sea, Sabil bercerita tentang rencana kakaknya yang akan meminang Sea petang nanti, dengan raut terkejut dan tidak percaya Sea bertanya.

“Apakah Abah dan Ibu menyetujuinya?” tanyanya dengan penuh rasa takut.

“Yang menyuruh untuk segera bergerak adalah mereka Sea, dan aku harap kamu tidak akan lagi mendorong mas Zabir dan menyangkal perasaanmu. Kamu berhak bahagia Sea, dan kamu pantas menjadi bagian dari keluarga kami” kata Sabil meyakinkan Sea.

Sore hari itu, meski hujan terus mengguyur acara lamaran itu berjalan dengan baik. Sea akhirnya menyetujui untuk bersama Zabir melakukan petualangan dalam kehidupan ini dengan membawa Amin paling serius seluruh dunia.

Cerpen ini telah diikutkan event antologi dan telah dibukukan oleh penerbit Grana Pustaka

Pesann bukunya sekarang!



Tidak ada komentar:

Postingan Populer

AMIEN PALING SERIUS

Arief Viantoro @gusjadab - Sea berteduh di sebuah ruko, dengan memeluk dirinya sendiri melindungi dari dinginnya hujan yang mengguyur pagi...