Fatimah az-Zahra adalah sosok yang hadir seperti cahaya yang tenang—tidak menyilaukan, tetapi menembus hati dengan kelembutan yang sulit dijelaskan. Dalam setiap kisah tentangnya, ada keheningan yang penuh makna, seakan kehidupan Fatimah bukan sekadar rangkaian peristiwa, tetapi sebuah pelajaran panjang tentang kesederhanaan, kesabaran, dan cinta yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ia tumbuh di bawah naungan kasih Rasulullah ﷺ, menyaksikan perjuangan ayahnya sejak hari-hari awal dakwah ketika dunia masih gelap oleh kejahiliahan. Kecilnya tubuh Fatimah tak pernah menghalanginya untuk menjadi penyangga kelelahan Rasulullah. Ketika kotoran hewan dilemparkan kepada beliau saat sujud di depan Ka’bah, Fatimah kecil datang dengan mata berkaca-kaca dan tangan kecil yang membersihkan punggung ayahnya. Di situlah kita melihat: keberanian perempuan tidak selalu hadir dalam teriakan, tetapi dalam keteguhan hati yang diam dan lembut.
Saat ia dewasa, kesederhanaan menjadi pakaian yang tidak pernah ia lepaskan. Rumah Fatimah bukan istana, bukan pula tempat tersimpan gemerlap dunia. Hanya dinding sederhana, tikar kasar, dan tungku kecil yang sering menyala untuk menyiapkan makanan bagi keluarga. Namun dari rumah kecil itulah lahir keturunan Rasulullah, lahir cucu-cucu yang kelak menjadi matahari penerang kaum muslimin. Kecintaan Fatimah pada keluarganya begitu dalam, namun cintanya kepada Allah jauh lebih luas daripada apa pun yang ia simpan di dunia.
Tangan-tangannya lelah menggiling gandum hingga kulitnya kasar, namun lisannya tetap basah oleh doa. Ia tidak meminta kelapangan dunia, meski ia bisa. Ia hanya meminta kekuatan untuk terus bersabar. Ketika Rasulullah menawarkan bantuan berupa pembantu, Fatimah menolak dengan santun, dan beliau justru mengajarkannya tasbih yang kelak dikenal sebagai Tasbih Fāṭimah. Di situlah kita belajar bahwa ketenangan jiwa sering kali lebih baik daripada kemudahan dunia yang sementara.
Fatimah dikenal sebagai az-Zahra’, yang bercahaya. Para ulama menyebut bahwa cahaya itu terpancar dari hatinya yang selalu jernih, dari ibadahnya yang tidak pernah putus, dari kasihnya yang tidak pernah menuntut balasan. Ia sedih saat kehilangan Rasulullah, namun dalam kesedihannya tetap ada kemuliaan: ia tetap menjaga adab, tetap menahan diri, tetap berjalan dengan ketenangan seorang hamba yang memahami kefanaan dunia.
Ia adalah ibu dari dua pemuda surga, Hasan dan Husain; benteng bagi Ali; pelipur bagi Rasulullah yang setiap kali memandang wajahnya, menemukan ketenangan seperti menemukan rumah setelah perjalanan panjang. Di setiap salam yang beliau ucapkan kepada putrinya, tersimpan cinta yang tak dimiliki dunia kepada siapa pun selain dirinya.
Fāṭimah hidup sederhana, namun kesederhanaannya justru menjadi mahkota. Ia menggiling gandum hingga tangannya perih, menyalakan tungku hingga pakaiannya berdebu, namun langit mencatat semua itu sebagai ibadah yang harum melebihi kasturi. Ia tidak mengejar dunia, dan dunia pun malu mengejarnya.
Saat malam jatuh dan suara kota terlelap, Fāṭimah bangkit dalam sujud—membawa namanya sendiri dalam kerendahan, dan membawa umat ini dalam doa yang tak terdengar. Di antara kerlip lampu minyak, ia melafalkan tasbih yang kelak menjadi warisan langit bagi siapa saja yang ingin hatinya kembali bersih.
Kesabarannya adalah kitab, ketabahannya adalah syair, ketulusannya adalah pelajaran yang tak pernah selesai dibaca.
Ia adalah perempuan yang apabila berjalan, akhlaknya mendahului langkahnya.
Ia adalah wanita yang apabila berbicara, kejujuran lebih dahulu memenuhi udara sebelum suaranya terdengar.
Ia adalah putri Nabi—namun sama sekali tidak meminta kehormatan selain taat kepada Allah.
Sejarah menyebutnya al-Batul, yang terputus hatinya dari dunia, namun justru menyambungkan dunia kepada Tuhan.
Ulama menyebutnya az-Zahrā, sumber cahaya yang membersihkan kegelapan zaman.
Dan umat menyebutnya Fatimah—nama yang setiap kali diucapkan, menenangkan hati seperti angin sejuk di padang Hijaz yang panas.
Wafatnya adalah tangis bumi, namun hidupnya adalah pelita yang tak pernah padam. Sebab orang-orang besar bisa memudar, tetapi kebaikan murni tetap tinggal abadi.
Dan Fatimah adalah kebaikan itu—abadi dalam diam, harum dalam kesaksian para malaikat.
“Tidak ada hati yang hilang selama masih mengenang Fatimah.
Sebab yang mengenangnya akan menemukan dirinya kembali.”
Catatan kecil ini hanyalah jejak dari jejak panjang seorang wanita yang namanya disebut dengan hormat di langit maupun di bumi. Semoga setiap kali namanya kita ucapkan, ada seberkas cahaya yang juga menerangi hati kita—cahaya yang membuat kita lebih lembut, lebih sabar, dan lebih dekat dengan Allah sebagaimana ia pernah dekat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar