Selasa, 09 Desember 2025

Diantara Denting Hujan dan Kata yang Tertinggal


---

Hujan turun dengan ritme yang nyaris seperti bisikan rahasia, mengetuk jendela kafe kecil di sudut Jalan Kenanga. Di balik kaca yang mulai berembun, Arlana menyandarkan dagunya pada punggung tangan, memperhatikan setiap tetes hujan seolah mencari sebuah jawaban yang lama hilang.

Kafe itu hangat, lampunya temaram, dan aroma kopi panggang mengapung di udara. Namun, di balik semua kenyamanan itu, ada sesuatu yang gelisah dalam dirinya. Malam ini ia menunggu seseorang—atau lebih tepatnya, sebuah masa lalu yang ia kira telah selesai.

Jam di dinding berdetak pelan. 19.07.

"Lama sekali," gumamnya pada diri sendiri.

Ia merapikan jilbabnya, menghela napas dengan ritme pendek. Baru ketika ia hendak menyesap kopinya, pintu kayu kafe berderit pelan. Seorang laki-laki masuk, membawa serta aroma basah hujan.

Rafa.

Setelah tiga tahun tanpa kabar.

---

Rafa menghentikan langkahnya saat melihatnya. Senyuman tipis, canggung, terbentuk di bibirnya. Tanpa menunggu isyarat, ia berjalan mendekat.

“Maaf… terlambat. Hujan mendadak turun.”

Alana tidak langsung menjawab. Bukan karena marah, melainkan karena ia sedang mencari tahu bagaimana perasaannya. Ternyata melihat Rafa lagi membuat dadanya bergetar. Bukan gemetar yang menyakitkan seperti dahulu, namun juga bukan yang menenangkan.

“Tidak apa,” jawab Alana akhirnya. “Silakan duduk.”

Rafa duduk di depannya, menaruh jaketnya di sandaran. Ia menatap Alana, lama, seolah baru sadar betapa banyak waktu yang hilang.

“Terima kasih sudah mau bertemu,” ucapnya.

“Saya juga tidak menyangka Anda minta bertemu mendadak.”

Rafa mengangguk pelan. “Ada banyak hal… yang belum sempat dijelaskan.”

Kalimat itu membuat hati Alana berdesir. Penjelasan? Tiga tahun terlalu lama untuk satu penjelasan.

“Rafa…” Alana menautkan jari. “Sudah lewat lama sekali sejak Anda pergi. Saya kira semua telah… selesai.”

Rafa menunduk, jemarinya menggenggam cangkir hangat yang baru datang. “Tidak bagiku.”

--

Tiga tahun lalu, mereka adalah dua anak muda yang terlalu percaya bahwa rasa cukup untuk menghadapi dunia. Rafa seorang pemusik yang bermimpi besar, sementara Alana gadis sederhana yang mencintai rutinitasnya sebagai penjaga perpustakaan kecil. Mereka bertemu secara tidak sengaja di acara kampus, ketika Rafa sedang memainkan gitar dan Alana menjadi relawan.

Dari satu percakapan kecil, tumbuh rasa yang tak terduga.

Rafa jatuh cinta pada ketenangan Alana, Alana jatuh pada mimpi-mimpi Rafa yang tak pernah habis. Mereka menjalin hubungan yang sederhana, hangat, dan jujur. Sampai suatu hari, mimpi Rafa menuntut harga yang mahal.

Beasiswa musik ke luar negeri diterima, waktu keberangkatan mendadak dimajukan, dan tekanan dari keluarganya membuat Rafa mengambil keputusan terburu-buru.

Ia pergi.

Tanpa sempat pamit dengan baik. Tanpa memberikan janji selain satu pesan singkat:

"Maaf. Aku harus pergi sekarang."

Sejak hari itu, Alana membenci hujan. Karena hujan adalah hari kepergian Rafa.

---

“Jadi,” Alana membuka percakapan, “apa yang ingin kamu jelaskan?”

Rafa memasukkan napas panjang ke dalam paru-parunya.

“Aku tidak kembali untuk mengulang semuanya,” katanya. “Aku kembali karena… ada hal yang harus kamu tahu. Dan karena aku ingin bertanggung jawab.”

“Tanggung jawab apa?”

Rafa mengusap tengkuknya, gugup. “Tentang kenapa aku pergi tiba-tiba. Tentang… alasan yang tidak pernah sempat aku ceritakan.”

Alana menatapnya dengan mata yang tenang namun penuh waspada. Ia tidak ingin kembali ke masa ketika air mata menjadi sahabatnya.

“Aku pergi saat itu,” Rafa melanjutkan, “karena beasiswa memang mendadak. Tapi bukan hanya itu. Ayahku jatuh sakit parah. Dan aku—aku dipaksa memilih. Musik atau keluarga. Kota ini atau masa depanku. Aku tidak bisa mengajakmu ikut serta. Dan aku takut kamu akan menahanku.”

“Tahan?” Alana tersenyum getir. “Rafa, kalau saat itu kamu bilang jujur, aku pasti melepasmu. Dengan doa, bukan dengan kebingungan.”

Rafa memejamkan mata, menahan rasa sesal. “Aku tahu. Tapi aku penakut, Alana. Aku takut kehilangan kesempatan, dan… takut kehilanganmu. Pada akhirnya, aku malah kehilangan keduanya.”

Kata-kata itu membuat napas Alana tercekat. Hatinya memberi sedikit ruang untuk iba, namun logikanya mencoba tetap teguh.

“Kamu bisa menghubungi aku setelah berada di sana,” kata Alana pelan.

“Aku sempat mencoba. Tapi ayahku meninggal seminggu setelah aku sampai. Dunia runtuh. Aku kehilangan arah. Aku berhenti kuliah untuk beberapa bulan. Dan ketika aku ingin menghubungimu lagi… aku takut kamu sudah tidak ingin mendengar apa pun dariku.”

“Dan kamu memilih diam selama tiga tahun?”

“Tidak ada alasan yang membenarkannya.” Rafa menatapnya lurus. “Tapi aku ingin memperbaikinya.”

“Dengan apa?”

“Dengan kejujuran, kali ini. Dengan permintaan maaf yang layak. Dengan memberi tahu kamu bahwa aku… masih mencintaimu.”

Suasana di antara mereka membeku. Alana memalingkan wajah, tidak ingin Rafa melihat air mata yang tiba-tiba menggenang.

---

Hujan di luar semakin deras, seolah mengiringi pergolakan di hati Alana. Ia mengingat semuanya—tawa Rafa, mimpi-mimpinya, malam-malam ketika mereka berbicara tentang masa depan sederhana. Tapi ia juga mengingat sakitnya ditinggalkan tanpa penjelasan.

Ia ingin marah, tapi bagian hatinya yang lain justru lembut.

“Rafa,” katanya setelah beberapa menit sunyi, “aku bukan lagi Alana yang dulu. Tiga tahun bukan waktu singkat.”

“Aku tahu.”

“Aku telah tumbuh. Aku punya hidup yang stabil, pekerjaan yang ku sukai, dan kedamaian yang sulit ku dapatkan dulu.”

“Iya,” Rafa menelan ludah. “Aku tidak datang untuk mengambil semua itu darimu.”

“Lalu apa yang kamu harapkan?”

Rafa terdiam lama sebelum akhirnya menjawab jujur:

“Kesempatan bicara. Kesempatan memperbaiki yang pernah hancur. Kalau bukan tentang kita… setidaknya tentang bagaimana aku pergi.”

Alana terpaku. Ia tidak menyangka Rafa akan datang tanpa membawa tuntutan. Tidak membawa paksaan. Hanya membawa kejujuran yang terlambat.

“Mungkin kamu datang di saat yang salah,” kata Alana. “Atau mungkin juga aku yang tidak siap.”

“Tidak apa,” Rafa tersenyum lirih. “Aku akan menerima apa pun jawabanmu.”

---

Waktu berjalan pelan. Kopi di cangkir mereka mulai mendingin. Ketika hujan berubah menjadi gerimis, Alana berdiri dan meraih payung.

“Aku harus pulang.”

Rafa ikut berdiri. “Ku antar?”

Alana menggeleng. “Tidak usah.”

Tapi langkahnya terhenti saat Rafael berkata:

“Alana… terima kasih sudah mau mendengarkan.”

Ada sesuatu yang tulus. Tidak memaksa. Tidak menggenggam.

Hanya melepaskan.

---

Malam itu, Alana berjalan pulang dengan langkah berat namun lega. Ada ruang di dadanya yang terasa lebih longgar. Ia tidak memaafkan Rafa sepenuhnya, tapi ia juga tidak lagi memendam dendam.

Di depan rumah, ia menatap hujan yang mulai reda.

Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, hujan tidak terasa menyakitkan.

Dan tanpa ia duga, hatinya berbisik pelan:

Mungkin pertemuan tadi… bukan tentang memulai lagi.

Mungkin itu tentang menutup dengan benar.

---

Namun takdir sering kali memilih arah lain.

Beberapa hari kemudian, Alana menemukan sebuah amplop kecil di loker perpustakaan tempat ia bekerja. Tidak ada nama, hanya kertas kecil dengan tulisan tangan:

“Aku tidak ingin mengganggu hidupmu. Tapi aku juga tidak ingin pergi tanpa meninggalkan sesuatu yang jujur. Jika suatu hari kamu ingin berbicara lagi—tentang apa pun—aku akan ada di tempat pertama kita bertemu dulu. Setiap Senin sore.”

Tanda tangan Rafa di bawahnya.

Alana memegang surat itu lama. Perasaannya berkecamuk. Ia tidak berniat bertemu lagi. Setidaknya belum.

Namun minggu demi minggu berlalu, dan surat itu tetap ia simpan. Ia membaca ulang ketika hatinya gelisah. Surat itu seperti pintu yang tidak harus dibuka, namun menenangkan untuk diketahui ada.

---

Enam minggu kemudian, pada Senin sore yang cerah, Alana menutup perpustakaan lebih cepat dari biasanya. Dengan langkah yang tidak yakin, ia menuju taman dekat kampus—tempat pertama ia dan Rafa berjumpa.

Ia tidak berniat datang. Ia tidak berniat memberi harapan. Ia hanya… ingin tahu apakah Rafa benar-benar menunggu.

Di sudut taman, di bangku tua yang sama, seorang laki-laki duduk sambil membaca buku. Rafa.


Ia tidak melihat jam. Tidak terlihat gelisah. Hanya duduk.


Alana berdiri jauh di belakang, mengamatinya.


Dia benar-benar datang…


Hatinya berdebar, sesuatu yang ia kira sudah mati tiba-tiba hidup kembali. Namun sebelum ia melangkah mendekat, Rafa tiba-tiba berdiri, merapikan tasnya, dan menghela napas.


Ia menatap bangku itu sejenak, tersenyum kecil—senyum seseorang yang tahu bahwa tidak semua hal bisa ia miliki, namun tetap bersyukur pernah merasakan.


Kemudian ia berbalik dan pergi.


Alana tidak memanggilnya.


Karena ia tahu, langkah yang tidak ia ambil hari itu akan menjadi pilihan yang menentukan.


Bukan karena ia tidak ingin bertemu.


Justru karena ia ingin melakukannya bukan karena penasaran—tetapi karena kesiapan.


Ia pulang dengan hati yang aneh: hampa namun hangat.



---


Dua bulan berikutnya, hidup berjalan seperti biasa. Namun sesuatu dalam diri Alana berubah. Ia tidak lagi menolak hujan. Ia mulai menulis lagi, kebiasaan yang dulu ia tinggalkan. Dan ia sering tersenyum pada hal-hal kecil.


Tanpa ia sadari, pintu yang ia tutup perlahan-lahan terbuka sendiri.


Dan suatu sore, ketika hujan turun lembut seperti awal cerita, Alana memutuskan untuk pergi ke taman itu.


Bukan karena ingin mengenang masa lalu.


Bukan karena ingin membuka luka.


Tapi karena ia ingin menguji hatinya sendiri.


Ketika ia tiba, bangku itu kosong. Tidak ada Rafa.


Alana duduk, merapikan rok panjangnya, menatap hujan yang membasahi rumput.


Mungkin Rafa sudah berhenti menunggu. Mungkin ia sudah menerima bahwa Alana tidak ingin bertemu lagi.


Tapi Alana justru tersenyum.


“Akhirnya aku siap…” bisiknya pada diri sendiri.


Tiba-tiba suara langkah kaki datang dari belakang. Alana menoleh cepat.


Rafa berdiri di sana, basah oleh hujan, terkejut melihatnya.


“Kamu di sini?” tanyanya, suaranya bergetar.


“Ya,” jawab Alana sambil tersenyum lembut. “Kali ini, bukan karena ingin menjelaskan masa lalu. Tapi… karena aku ingin tahu masa depan.”


Rafa mendekat perlahan, seperti takut mimpinya akan pecah.


“Alana… apa ini artinya—”


“Aku tidak menjanjikan apa pun.”

Alana menatap matanya, jernih.


“Tapi mungkin… kita bisa berbicara lagi. Dari awal. Tanpa luka. Tanpa tergesa-gesa.”


Rafa tak mampu menahan senyum yang ia pendam bertahun-tahun. “Berbicara saja sudah lebih dari cukup.”


Hujan turun lebih deras, namun tidak ada dari mereka yang beranjak. Alana membuka payungnya dan Rafa masuk ke dalam perlindungan kecil itu.


Dua orang yang dulu pernah terluka.


Dua hati yang akhirnya memilih dewasa.


Dua masa lalu yang tidak kembali, tetapi berubah menjadi masa kini yang jujur.


Dan mungkin—hanya mungkin—masa depan yang baru saja mulai membentuk diriny

a.



---


Malam ini, denting hujan tidak menyakitkan.


Ia menjadi musik.


Dan untuk pertama kalinya, Alana tahu:

Tidak semua yang retak harus disatukan kembali.

Ada yang cukup dengan dipahami dan diperbaiki perlahan.


Seperti hati mereka.


Seperti cerita ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer

AMIEN PALING SERIUS

Arief Viantoro @gusjadab - Sea berteduh di sebuah ruko, dengan memeluk dirinya sendiri melindungi dari dinginnya hujan yang mengguyur pagi...